Senin, 09 Januari 2012

Mengelola Resiko Operasional








Nama  : Atama Rena Perdana
Kelas   : 2KB01
NPM    : 21110205



  • Pengawasan aktif komisaris dan direksi
  Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:
- Prinsip 1
  Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus menyadari  aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional
  Di sini dewan harus  harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior
  Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank
  Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.
- Prinsip 2
  Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal  audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif
  Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan, Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung
  Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.
- Prinsip 3
  Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda
  Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif 
  Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit.  Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan
  Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan
- Prinsip 4
  Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem.  Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank.  Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini
  Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:
- Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. 
- Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional 
  Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional  Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya 
  Risk Indicators:  Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian 
Sumber: 

Pendekatan dalam Menghitung Beban Modal








Nama  : Atama Rena Perdana
Kelas   : 2KB01
NPM    : 21110205

  • Pendekatan Indikator Dasar 
Pendekatan indikator dasar (basic indicator approach, BIA) atau pendekatan dasar adalah suatu rangkaian teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Basel II mengharuskan semua lembaga perbankan untuk menyisihkan sebagian modal bagi risiko operasional. Metode BIA relatif lebih sederhana dibandingkan alternatif pendekatan lain (pendekatan standar dan pendekatan pengukuran lanjut) dan telah direkomendasikan bagi bank yang tak memiliki operasi internasional vital
  Berdasarkan Basel, bank yang menggunakan pendekatan ini harus mencadangkan modal untuk risiko operasional setara dengan rerata suatu persentase tetap pendapatan kotor tahunan selama tiga tahun terakhir. Pendapatan kotor negatif atau nol harus dikecualikan baik dari pembilang maupun penyebut sewaktu menghitung rerata tersebut
  • Pendekatan Standar 
  Dalam Basel II, pendekatan standar adalah kumpulan teknik pengukuran risiko bagi lembaga perbankan. Istilah ini dapat dipergunakan dalam konteks risiko kredit maupun risiko operasional
  Pada pengukuran risiko kredit, pendekatan standar dilakukan dengan menggunakan lembaga pemeringkat kredit eksternal untuk mengkuantifikasikan kecukupan modal. Pada kebanyakan negara, metode ini merupakan satu-satunya metode yang disetujui pada tahap awal implementasi Basel II. Metode lainnya adalah dengan menggunakan sistem peringkat internal Foundation IRB dan Advanced IRB
Untuk risiko operasional, aktivitas bank dibagi menjadi delapan lini bisnis: keuangan perusahaan, perdagangan dan penjualan, perbankan komersial, pembayaran dan penyelesaian, jasa agen, pengelolaan aset, serta pialang ritel. Modal untuk risiko operasional dari masing-masing lini tersebut adalah persentase pendapatan kotor bank dari lini bisnis tersebut 
  • Pendekatan Pengukuran Lanjutan
  Pendekatan pengukuran lanjut (advanced measurement approach, AMA) adalah suatu kumpulan teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Pendekatan ini mengizinkan bank untuk mengembangkan sendiri model empiris mereka untuk mengkuantifikasikan kebutuhan modal untuk risiko operasional, dengan persetujuan dari regulator lokal
  Menurut Basel, untuk layak menggunakan AMA, suatu bank harus memenuhi persyaratan minimum berikut:
Dewan direksi dan manajemen senior, jika diperlukan, terlibat aktif dalam pemantauan pelaksanaan kerangka manajemen risiko operasional, memiliki sistem manajemen risiko operasional yang memiliki konsep yang baik dan diimplementasikan dengan integritas, serta memiliki sumber daya yang cukup untuk penggunaan pendekatan tersebut pada lini bisnis utamanya, serta pada wilayah-wilayah pengendalian dan audit
Sumber:

Banking Risk Assesment








Nama  : Atama Rena Perdana
Kelas   : 2KB01
NPM    : 21110205


  • Manajemen resiko dan risk assessment 
  Resiko kredit (Credit risk) adalah merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya
  • Resiko pemberi pinjaman atas konsumen 
  Kebanyakan pemberi pinjaman menggunakan cara penilaian kelayakan kredit mereka masing-masing guna membuat peringkat risiko konsumen lalu kemudian mengaplikasikannya terhadap strategi bisnis mereka. Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko tinggi dan sebaliknya. Pada pinjaman berulang seperti pada kartu kredit dan overdraft, risiko ini dikontrol dengan cara penetapan batasan kredit yang seksama. Beberapa produk mensyaratkan adanya jaminan yang biasanya dalam bentuk properti 
    • Resiko pemberi pinjaman atas bisnis 
      Debitur akan menawarkan biaya / keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi. Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman (kreditur) atas peminjam (debitur) yaitu misalnya dalam bentuk:
    - Pembatasan terhadap debitur atas tindakan-tindakan yang dapat memengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru 
    - Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan 
    - Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangtan seperti utang / ekuiti menurun 
      Saat ini terdapat inovasi untuk melindungi kreditur dan pemegang obligasi terhadap risiko gagal bayar yaitu dalam bentuk kredit derivatif yang dikenal dengan istilah credit default swap. Dengan kontrak keuangan ini maka perusahaan dimungkinkan untuk membeli suatu perlindungan (proteksi) terhadap risiko gagal bayar dari pihak ketiga selaku penjual perlindungan. Penjual perlindungan ini memperoleh imbal jasa secara periodik sebagai bentuk kompensasi atas risiko yang diambil alih olehnya yaitu dalam bentuk kesepakatan untuk membeli tagihan tersebut apabila terjadi gagal bayar
    • Resiko yang dihadapi oleh bisnis
      Perusahaan menghadapi "risiko kredit" dalam hal misalnya perusahaan tidak menerima "pembayaran dimuka" secara tunai untuk produk atau jasa yang dijualnya. Dengan melakukan penyerahan barang atau jasa di depan dan menagih pembayaran kelak maka perusahaan menanggung suatu risiko selama tenggang waktu penyerahan barang atau jasa dengan waktu pembayaran 
      Beberapa perusahaan memiliki departemen risiko kredit yang bertugas untuk menilai kesehatan finansial dari konsumennya guna memutuskan pemberian kredit lebih lanjut atau tidak. Dalam hal ini dapat juga digunakan jasa pihak ketiga yaitu peruisahaan yang menyediakan jasa dibidang penilaian kredit dengan memberikan peringkat kredit seperti misalnya Moody's, Standard & Poor's, Fitch Ratings dan lainnya yang menyediakan informasi berbayar 
       Risiko kredit ini tidak dengan sungguh-sungguh dikelola oleh perusahaan kecil yang hanya memiliki 1 atau 2 konsumen saja, sehingga perusahaan ini sangat rentan terhadap masalah gagal bayar atau keterlambatan pembayaran oleh konsumennya
    • Resiko yang dihadapi individu
      Konsumen dapat menemui risiko kredit dalam bentuk langsung misalnya sebagai deposan di bank atau sebagai debitur. Mereka dapat juga menghadapi risiko kredit sewaktu melakukan transaksi dagang dengan cara penyerahan uang muka kepada mitra pengimbang misalnya untuk melakukan pembelian rumah atau penyewaan rumah. Karyawan dari suatu perusahaan juga amat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran gaji juga termasuk yang menghadapi risiko kredit dalam stausnya sebagai karyawan
      Pada beberapa kasus, pemerintah menyadari bahwa kemampuan para individu ini untuk melakukan evaluasi atas risiko kredit sangat terbatas dan risiko ini dapat mengurangi efisiensi ekonomi sehingga pemerintah melakukan berbagai mekanisme dan langkah hukum guna melindungi konsumen terhadap risiko ini. Deposito bank pada beberapa negara dijamin dengan asuransi (hinga batasan nilai tertentu) untuk deposito individu / perorangan, yang secara efektif akan mengurangi risiko kredit mereka terhadap bank dan meningkatkan kepercayaan mereka menggunakan jasa perbankan 
    Sumber: 

    Regulasi Pilar Basel : Pilar 1








    Nama  : Atama Rena Perdana
    Kelas   : 2KB01
    NPM    : 21110205


    • PILAR  1 – Resiko kredit 
      Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini
      Risiko kredit adalah merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya
      Pilar kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemik, risiko pensiun, risiko konsentrasi, risiko strategik, risiko reputasi, risiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadi risiko residu
    • PILAR 1-Resiko pasar 
      Risiko pasar (market risk) adalah suatu risiko yang timbul karena menurunnya nilai suatu investasi karena pergerakan pada faktor-faktor pasar. Empat faktor standar risiko pasar adalah risiko modal, risiko suku bunga, risiko mata uang, dan risiko komoditas
      Pilar ketiga memperbesar pengungkapan yang harus dilakukan bank. Ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan menangani risiko tersebut dengan sepantasnya
    • PILAR 1 – Resiko operasional
      Risiko operasonal oleh Basel II didefinisikan sebagai suatu risiko kerugian yang disebabkan karena tak berjalannya atau gagalnya proses internal, manusia dan sistem, serta oleh peristiwa eksternal. Walaupun risiko ini dapat diterapkan pada semua jenis organisasi bisnis, keterkaitan utamanya adalah pada bidang perbankan yang regulatornya bertanggung jawab untuk menciptakan pengamanan sebagai perlindungan terhadap kegagalan sistemik sistem perbankan dan ekonomi
      Definisi Basel II mencakup pula risiko hukum, tapi mengecualikan risiko strategi, yaitu risiko kerugian karena buruknya keputusan strategis bisnis. Definisi ini juga mengecualikan risiko reputasi walaupun disadari bahwa suatu kerugian operasional yang cukup besar tapi tidak fatal juga dapat memengaruhi reputasi dan dapat membawa dampak lanjutan pada keruntuhan bisnis dan kegagalan organisasi

    Implementasi Basel








    Nama  : Atama Rena Perdana
    Kelas   : 2KB01
    NPM    : 21110205


    • Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal
      Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian
      Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank
      Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional

                         
      Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko
    Sumber :